Kamis, 27 Desember 2012

Peduli Pendidikan Karakter It Never Ends

Peduli Pendidikan Karakter It Never Ends

“Ketika kehilangan kekayaan, Anda tidak kehilangan apa-apa. Ketika kehilangan kesehatan, anda kehilangan sesuatu. Ketika kehilangan karakter, anda kehilangan segala-galanya” – Billy Graham

Saat ini paling tidak ada 2 hal yang saya ketahui tidak pernah lekang oleh jaman, apa itu?
  1. Perubahan
  2. Pendidikan Karakter
Jika bicara perubahan maka, sejatinya kita yang ada hari ini, yang sedang membaca tulisan ini sudah berbeda dari diri kita yang kemarin. Berbeda dimananya? Sel tubuh kita sudah berubah, informasi yang kita terima berubah, usia kita berubah dan masih banyak hal lainnya.
Sama halnya dalam pendidikan karakter, adalah proses yang tidak tak pernah berhenti. Pemerintah boleh berganti, raja boleh turun tahta, presiden boleh berhenti masa jabatannya, namun pendidika karakter tetap harus berjalan terus. Pendidikan karakter bukanlah proyek yang ada awal dan ada akhirnya. Pendidikan karakter diperlukan tiap individu untuk menjadi orang yang lebih baik lagi, warga Negara yang lebih bernilai kemanusiaan yang tinggi. Mantab!
Seperti pepatah dari negeri China “Apabila andamembuat rencana satu tahun, tanamlah padi. Apabila anda membuat rencana untuk sepuluh tahun tanamlah pohon. Apabila anda membuat rencana untuk seumur hidup didiklah orang-orang”. Pertanyaan nya adalah pendidikan apa yang patut diberikan?
Saat saya dahulu bersusah payah mengerjakan dan belajar perkalian matematika sampai 2-3 digit berserta akar pangkatnya, kini dalam keseharian saya sudah tidak terlalu relevan dengan aktivitas pekerjaan saya. jika toh saya harus berurusan dengan angka tersebut, saya tinggal buka laci dan ambil kalkulator. Menurut saya jika otak bisa digunakan untuk hal yang jauh lebih bermanfaat kenapa harus mengerjakan hal yang bisa dikerjakan barang simple ini (kalkulator). Sama halnya saat saya mengahfal selama lebih dari 12 tahun tentang sejarah, ternyata beberapa tahun yang lalu dipublikasikan bahwa sejarah di Indonesia banyak sekali kebohongan dan tidak sesuai dengan materi yang diajarkan di sekolah. Dan pendidikan yang saya pelajari itu sudah tidak begitu berguna lagi bagi saya dan sebagian banyak orang.
Saya bercerita pengalaman saya bukan berarti belajar di sekolah , ataupun pelajaran di sekolah tidak ada manfaatnya. Sangat ada manfaatnya bagi saya, apa? Saya belajar bersosialisasi, mempelajari pola pikir dan masih banyak hal lainnya.

Kembali ke topik yang terputus sesaat. Pendidikan apa yang patut diberikan? Mudah sekali, Pendidikan Karakter. Lalu pendidikan yang lain?
Pendidikan mata pelajaran lain jelas perlu, tapi berikan nuansa pendidikan karakter didalamnya. Sisipkan nilai kehidupan, nilai positif dari setiap materi dan berikan sentuhan manfaat dalam kehidupan. Misalnya mengajarkan fisika dengan bercerita tentang penemu teori atau rumus yang sedang diajarkan. Tonjolkan sikap positifnya dan ulang-ulang terus sehingga siswa tidak hanya hafal rumusnya saja tetapi nilai positif dari penemu teori tersebut.  Pertanyaannya apakah ini sudah kita kerjakan, wahai orangtua dan guru?
Ketika suatu Negara tidak menaruh perhatian terhadap pendidikan, maka Negara tersebut tidak membangaun sumber kekuatan , sumber kemajuan, sumber kesejahteraan, dan sumber martabat yang selalu bisa diperbarui, yaitu kualitas manusia dan kualitas masyarakatnya. Kualitas ini ditentukan oleh tingkat kecerdasan dan kekuatan karakter rakyatnya. Nah, disini pendidikan karakter sangat berperan penting untuk menghasilkan itu semua. Ingat, berbeda dengan sumber daya alam apabila dipakai dan dieksploitasi maka akan habis pada kurun waktu tertentu, berbeda dengan kebaikan karakter dan kecerdasan yang berkarakter, akan makin bertambah jika digunakan terus menerus.
Seperti ungkapan Ki Hajar Dewantara “Maksud pendidikan itu adalah sempurnanya hidup manusia sehingga bisa memenuhi segala keperluan hidup lahir dan batin. Yang kita dapat dari kodrat alam… pengetahuan, kepandaian janganlah dianggap maksud dan tujuan. Tetapi alat, perkakas, lain tidak. Bunganya kelak akan menjadi buah. Itulah yang harus kita utamakan. Buahnya pendidikan, yaitu matangnya jiwa, yang akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang tertib dan suci dan bermanfaat bagi orang lain”.
Nah, sejatinya pendidikan karakter tidak pernah berhenti dari kehidupan kita. seandainya kita pernah mendapatkan pendidikan karakter, atau dulunya bernama pendidikan Budi Pekerti, tidak selesai sampai kita selesai sekolah. Dalam sekolah kehidupan justru manusia yang berhasil adalah manusia yang memiliki nilai karakternya A dan setiap tahunnya (bahkan harian, atau triwulan, bahkan semester) masih ada ujian kenaikan kelasnya, sampai kapan? Sampai kita lulus dari bumi ini. Yah itulah sebabnya saya kemukakan bahwa pendidikan karakter tidak pernah berhenti. Nikmati dan hiduplah dengan karakter sukses.

Proses Pembentukan Karakter Pada Anak

Proses Pembentukan Karakter Pada Anak

Karakter tidak dapat dibentuk dengan cara mudah dan murah. Dengan mengalami ujian dan penderitaan jiwa karakter dikuatkan, visi dijernihkan, dan sukses diraih ~ Helen Keller

Suatu hari seorang anak laki-laki sedang memperhatikan sebuah kepompong, eh ternyata di dalamnya ada kupu-kupu yang sedang berjuang untuk melepaskan diri dari dalam kepompong. Kelihatannya begitu sulitnya, kemudian si anak laki-laki tersebut merasa kasihan pada kupu-kupu itu dan berpikir cara untuk membantu si kupu-kupu agar bisa keluar dengan mudah. Akhirnya si anak laki-laki tadi menemukan ide dan segera mengambil gunting dan membantu memotong kepompong agar kupu-kupu bisa segera keluar dr sana. Alangkah senang dan leganya si anak laki laki tersebut.Tetapi apa yang terjadi? Si kupu-kupu memang bisa keluar dari sana. Tetapi kupu-kupu tersebut tidak dapat terbang, hanya dapat merayap. Apa sebabnya?
Ternyata bagi seekor kupu-kupu yang sedang berjuang dari kepompongnya tersebut, yang mana pada saat dia mengerahkan seluruh tenaganya, ada suatu cairan didalam tubuhnya yang mengalir dengan kuat ke seluruh tubuhnya yang membuat sayapnya bisa mengembang sehingga ia dapat terbang, tetapi karena tidak ada lagi perjuangan tersebut maka sayapnya tidak dapat mengembang sehingga jadilah ia seekor kupu-kupu yang hanya dapat merayap.

Itulah potret singkat tentang pembentukan karakter, akan terasa jelas dengan memahami contoh kupu-kupu tersebut. Seringkali orangtua dan guru, lupa akan hal ini. Bisa saja mereka tidak mau repot, atau kasihan pada anak. Kadangkala Good Intention atau niat baik kita belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik. Sama seperti pada saat kita mengajar anak kita. Kadangkala kita sering membantu mereka karena kasihan atau rasa sayang, tapi sebenarnya malah membuat mereka tidak mandiri. Membuat potensi dalam dirinya tidak berkembang. Memandulkan kreativitasnya, karena kita tidak tega melihat mereka mengalami kesulitan, yang sebenarnya jika mereka berhasil melewatinya justru menjadi kuat dan berkarakter.
Ada satu anekdot yang sering saya sampaikan pada rekan saya, ataupun peserta seminar. Enak mana makan mie instant dengan mie goreng seafood? Umumnya mereka yang suka mie pasti tahu jika mie goreng seafood jauh lebih enak dari mie goreng instant yang hanya bisa dimasak tidak kurang dari 3 menit. Apa yang membedakan enak atau tidaknya dari masakan mie tersebut? Prosesnya!

Sama halnya bagi pembentukan karakter seorang anak, memang butuh waktu dan komitmen dari orangtua dan sekolah atau guru (jika memprioritaskan hal ini) untuk mendidik anak menjadi pribadi yang berkarakter. Butuh upaya, waktu dan cinta dari lingkungan yang merupakan tempat dia bertumbuh, cinta disini jangan disalah artikan memanjakan. Jika kita taat dengan proses ini maka dampaknya bukan ke anak kita, kepada kitapun berdampak positif, paling tidak karakter sabar, toleransi, mampu memahami masalah dari sudut pandang yang berbeda, disiplin dan memiliki integritas (ucapan dan tindakan sama) terpancar di diri kita sebagai orangtua ataupun guru. Hebatnya, proses ini mengerjakan pekerjaan baik bagi orangtua, guru dan anak jika kita komitmen pada proses pembentukan karakter.
Pada awal pembentukan karakter banyak orangtua dan guru bertanya tentang bagaimana mendisiplinkan anak. Ada 6 proses disiplin yang kami bagikan melalui ebook gratis 6 Cara Mendisiplinkan Anak, bagi anda yang belum memiliki ebook ini silahkan di download gratis disini.
Nah, apakah disiplin saja cukup? Bagaimana dengan proses membentuk karakter yang lain? Pada 06 Agustus 2012, kami akan menerbitkan buku 7 Hari Membentuk Karakter Anak. Di buku ini akan diungkap hal-hal yang sangat jarang diketahui oleh para orangtua dan guru, tentang bagaimana mendidik anak agar tumbuh bahagia dan berkarakter. Disamping itu bukan hanya anak tetapi buku ini juga memberikan pengarahan bagi orangtua dan guru agar sadar membentuk karakter mereka secara mandiri.

Kembali ke pembentukan karakter, ingat segala sesuatu butuh proses. Mau jadi jelek pun butuh proses. Anak yang nakal itu juga anak yang disiplin lho. Tidak percaya? Dia disiplin untuk bersikap nakal. Dia tidak mau mandi tepat waktu, bangun pagi selalu telat, selalu konsisten untuk tidak mengerjakan tugas dan wajib tidak menggunakan seragam lengkap.
Ada satu kunci untuk menanamkan kebiasaan, ada hukumnya dan hukum itu bernama hukum 21 hari, dalam pembentukan karakter erat kaitannya dengan menciptakan kebiasaan yang baru yang positif. Dan kebiasaan akan tertanam kuat dalam pikiran manusia setelah diulang setiap hari selama 21 hari. Misalnya Anda biasakan anak sehabis bangun tidur untuk membersihkan tempat tidurnya, mungkin Anda akan selalu mengingatkan dan mengawasi dengan kasih sayang (wajib, dengan kasih sayang) selama 21 hari. Tetapi setelah lewat 21 hari maka kebiasaan itu akan terbentuk dengan otomatis. Nah, kini kebiasaan positif apa yang hendak anda tanamkan kepada anak, pasangan dan diri Anda? Anda sudah tahu caranya dan tinggal melakukan saja. Sukses dalam karakter yang terus diperbarui.

Pentingnya Memahami Kebutuhan Emosional Anak

Pentingnya Memahami Kebutuhan Emosional Anak

Pada bagian sebelumnya kita telah mempelajari bahwa anak dan remaja lebih dikendalikan oleh emosi-emosi mereka daripada pemikiran rasional dan logis. Emosi ini menjelaskan mengapa anak dan remaja berperilaku demikian, termasuk pada perilaku yang merusak diri sendiri. Jadi jika kita ingin memotivasi mereka, sebaiknya kita pahami lebih dulu emosi yang mengendalikan mereka dan memanfaatkannya untuk mengarahkan perilaku dan pemikiran yang lebih memperdayakan.

Berikut adalah ketiga kebutuhan emosional anak:
1. Kebutuhan untuk merasa AMAN
Salah satu kebutuhan terkuat yang dibutuhkan soerang anak adalah perasaan aman. Aman didalam diri dan lingkungannya. Remaja mencari rasa aman dengan bergabung dengan sekelompok “geng” atau sekumpulan teman sebaya mereka, terlibat aturan sosial diantara mereka, serta meniru perilaku temannya.
Seorang psikolog Dr. Gary Chapman, dalam bukunya “lima bahasa cinta” mengatakan kita semua memiliki tangki cinta psikologis yang harus diisi, lebih tepatnya jika anak maka orangtuanya yang sebaiknya mengisi. Anak yang tangki cintanya penuh maka dia akan suka pada dirinya sendiri, tenang dan merasa aman. Hal ini dapat diartikan sebagai anak yang berbahagia dan memiliki “inner” motivasi.
Perlukah kita mempelajari dan mengetahui tangki cinta? Sangat perlu, saya seringkali merekomendasi para guru dan orangtua untuk mempelajari dan menemukan bahasa cinta anak mereka, dirinya dan pasangannya. Hal ini akan saya bahas pada artikel berikutnya).
Contoh, terdorong oleh rasa cinta kepada anaknya seorang ibu memarahi anaknya yang sedang bermain computer. “berhenti maen computer dan belajar sekarang” lalu apa yang ada dibenak anak? Mungkin “Hmpf… Ibu tidak sayang padaku, dan ingin mengendalikan aku serta keasyikanku” Nah, anak menerimanya sebagai hal yang negatif, komunikasi yang menghancurkan rasa cinta ini biasanya yang menjadi akar permasalahan orangtua dan anak, serta guru.

“Mencintai anak tidak sama dengan anak merasa dicintai”

Apa yang menyebabkan kebutuhan akan rasa aman tidak terpenuhi?
• Membandingkan anak dengan saudara atau orang lain
Ketika kita mengatakan “mengapa kamu tidak bisa menjaga kebersihan kamar seperti kakakmu”, “kenapa kamu tidak bisa menulis serapi Rudi”. Akan tumbuh perasaan ditolak, tidak diterima, mereka akan berpikir “papa/mama lebih suka dengan…” hal ini menumbuhkan sikap tidak suka dengan dirinya sendiri dan ingin menjadi orang lain. Mereka merasa aman dengan menjadi orang lain, bukan merasa aman dan nyaman menjadi dirinya sendiri.
• Mengkritik dan mencari kesalahan
Ketika kita mengatakan: “dasar anak bodoh, apa yang salah denganmu? Kenapa kamu tidak dapat melakukan sesuatu dengan benar?”
Dapat dipastikan, akan menimbulkan perasaan dendam, tidak ada rasa aman dilingkungan rumah (jika hal ini sering terjadi dirumah).
• Kekerasan fisik dan verbal
Saya rasa tidak perlu dijelaskan lagi, hal ini sudah banyak kita temui di surat kabar dan berita ditelevisi, dan bahayanya atau akibatnya juga sering kita temui di media tersebut. Jika tidak ada rasa aman dalam rumah, maka seorang anak akan mencari perlindungan untuk memenuhi rasa aman mereka disemua tempat yang salah. Dan anak akan melakukan apa saja untuk mendapatkan rasa aman ini, mencari perhatian dengan cara yang salah.

2. Kebutuhan akan pengakuan (merasa penting) dan diterima atau dicintai
Jarang sekali orangtua membuat anak-anak mereka merasa penting dan diakui dirumah. Sebaliknya banyak orangtua yang membuat anak mereka merasa kecil dan tidak berarti dengan ancaman: “lebih baik kerjakan PR-mu sekarang, atau…”
Apa yang ada dalam pikiran anak jika diperlakukan seperti itu? Kita orangtua justru senang jika anak melakukan hal yang kita perintah, tapi yang ada dipikiran anak adalah mereka merasa kalah dengan melakukan apa yang diperintahkan orangtua dengan cara seperti itu. Sehingga banyak anak yang menunda atau tidak mengerjakan apa yang ditugaskan orangtua (bahkan dengan ancaman sekalipun) untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya akan pengakuan.
Peringatan keras bagi orangtua: Jika anak-anak tidak merasa dicintai dan diterima oleh orangtua, mereka akan terdorong untuk mencarinya disemua tempat yang salah.
Keinginan seorang anak untuk diakui dan ingin dicintai begitu kuat, sehingga mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Jika mereka tidak mendapat pengakuan dengan cara yang benar maka akan menemukan dengan cara yang salah dan ditempat yang salah. Kebutuhan ini mendorong beberapa anak dan remaja untuk menggunakan tato, mengganggu anak lain, bergabung dengan geng pengganggu, mengecat rambut dengan warna menyolok, bertingkah laku seperti badut dan pelawak. Hal ini umumnya menyusahkan mereka sendiri, tetapi demi mendapatkan pengakuan dan diterima (mendapatkan perhatian).
Ada kasus ekstrim pada 16 april 2007, seorang siswa US Virginia Tech, Cho Seng-hui. Menembak dan menewaskan 32 siswa. Apa yang mendorong perilaku tersebut, sehingga dia melakukan hal yang begitu luar biasa gila? Dia melakukan hanya karena kebutuhan pengakuan dan rasa pentingnya begitu besar, tetapi tidak terpenuhi oleh orang-orang yang mengabaikannya dan menghinanya. Hal itu memaksanya keluar dari dunia logika dan merenggut nyawa orang lain serta dirinya sendiri, dalam pikirannya dia berpikir lebih baik mati bersama nama buruk dari pada hidup bukan sebagai siapa-siapa.

3. Kebutuhan untuk mengontrol (merasa mandiri atau keinginan untuk mengontrol)
Seiring pertumbuhan anak, sembari mencari identitas diri dan sambil belajar membangun kemandirian dari orangtua. Proses ini menciptakan kebutuhan emosional untuk bebas dan mandiri.
Jadi itu sebabnya anak tidak mau didikte untuk apa yang harus dilakukan. Mereka merasa tidak “gaul” mendengarkan orangtua. Dengan mendengarkan nasihat orangtua mereka seakan diperlakukan seperti anak kecil. Ini menjelaskan mengapa anak lebih mendengarkan teman mereka dan om atau tante (paman atau bibi) yang masih muda dari pada orangtuanya sendiri.
Orangtua yang cerdas, tidak akan menyerah menghadapi hal ini. Bagaimana caranya memberikan arahan dan agar anak mau mendengar orangtua? Gunakan komunikasi yang tidak bermaksud memaksa anak dengan nasihat kita. Buatlah seakan-akan mereka belajar dan bekerja keras untuk diri mereka sendiri bukan untuk kita. mereka akan lebih bersemangat dan termotivasi dengan cara seperti itu. Dan yang terpenting adalah memenuhi tangki cinta anak kita setiap hari dan memastikan selalu penuh saat bangun anak bangun tidur dan menjelang tidur. Dengan begitu anak tahu siapa yang paling mengerti dan sayang, serta kepada siapa dia akan datang pada saat membutuhkan seseorang untuk mendengar, yaitu kita orangtuanya.

Ambilah manfaat dari informasi ini, kenali kebutuhan emosi anak kita. Pekalah dimana saat anak membutuhkan penerimaan, kebutuhan untuk mengontrol sesuatu, serta butuh untuk aman. Gunakan kata-kata yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tersebut, berikut tips dan cara memenuhi kebutuhan emosi dasar seorang anak:
1. Rasa aman:
• Tenang sayang kamu aman bersama papa, mama akan temani kamu, hey… papa disini bakal jaga kamu sayang
2. Rasa penerimaan atau dicintai:
• Biasakan menatap mata saat berbicara pada anak, usahakan tatapan mata adalah datar atau “mata sayang”
• Sentuh bagian bahu saat berbicara atau bagian manapun asal sopan, untuk menunjukan bahwa kita ada bersama dan dekat dengan anak
• Usahakan sejajar (berdiri sejajar dengan anak atau berlutut)
• Katakan: apapun yang terjadi papa/mama tetap sayang sama kamu, kamu tetap jagoan papa/mama, dimata papa/mama kamulah yang paling cantik
3. Kebutuhan untuk mengontrol:
• Jika memungkinkan, jika anda melihat anak anda perlu untuk melakukan sesuatu sendiri maka ijinkanlah
• Sebenarnya itu adalah proses belajar untuk dirinya sendiri dan akan sangat bermanfaat dimasa dewasa
• Harga diri anak akan semakin tinggi, jika kita rajin memberikan kontrol kepada anak, karena anak merasa mampu melakukan kegiatan tanpa bantuan (tentunya kegiatan yang aman sesuai dengan kebijaksanaan orangtua)
• Luangkan waktu khusus untuk beraktivitas dan memberikan kontrol dan mengawasinya dengan kasih sayang, misal: anak umur 2-3 tahun minta makan sendiri, pergi ke sekolah sendiri, dan lain-lain

Kekuatan Karakter Bagi Masa Depan Anak

Kekuatan Karakter Bagi Masa Depan Anak

“Orang mungkin tidak mengetahui tujuan kehidupannya, tetapi ia harus tahu cara menjalani kehidupan”

Saya melihat salah seorang siswa di lingkungan tempat tinggal saya sangat tekun belajar. Sampai-sampai, ia tidak sempat meluangkan waktu untuk bermain dengan teman sebayanya. Tuntutan sekolah yang begitu banyak membuatnya harus berlama-lama di kamar untuk mentransfer informasi yang ada di buku ke dalam otak atau memorinya. Saya sangat kasihan dengan siswa tersebut. Mengapa? Di satu sisi, siswa tersebut memang terasah kemampuan kognitifnya. Namun di sisi lain, ia mengalami ketimpangan atau kelumpuhan emosional (afektif). Hidup itu seperti naik sepeda, perlu sekali menjaga keseimbangan. Jika keseimbangan tidak terjaga maka akan jatuh.
Melihat siswa tersebut, saya sarankan pada orangtuanya untuk membantu mengatur waktu, agar ia tidak terkurung di dalam kamar, sementara kawan-kawannya asyik bermain. Yang tidak ia sadari, bahwa bermain sebenarnya juga bagian dari proses belajar.

Seperti yang kita ketahui, manusia sebenarnya memiliki daya cipta, rasa dan karsa. Karena itu, ketika hanya daya cipta (IQ) saja yang diasah, maka terjadi ketidakseimbangan. Lalu apa yang terjadi? Tentunya, efek dari pola pendidikan yang hanya menitik beratkan pada daya cipta (kognisi / IQ) saja dan mengabaikan rasa (afeksi / EQ) dan karsa (action) akan terasa dan terlihat di kala si anak tumbuh dewasa. Si anak tersebut akan lumpuh sosial. Mengapa saya katakan lumpuh sosial? Lumpuh sosial terjadi ketika si anak tidak mampu menjalin hubungan di lingkungan sosialnya. Padahal, dalam setiap pergaulan di masyarakat, baik pergaulan dalam pekerjaan, pergaulan organisasi, pergaulan di sekolah dan lain-lain pasti butuh untuk menjalin hubungan dan bekerjasama dengan sesama. Pada akhirnya bisa menghambat perkembangan potensi dirinya.
Bukankah sudah menjadi kebutuhan mendasar kita sebagai manusia untuk saling bekerjasama. Dengan bekerjasama, sebenarnya kita membuka banyak peluang untuk mempelajari banyak hal. Dengan begitu kita bisa menambah kesempatan untuk mengeksplore diri kita. Inilah letak pentingnya pergaulan dan interaksi sosial.

Dulu, orang tua memang mengarahkan anak-anaknya untuk mengasah IQ-nya. Sebab, IQ yang tinggi diartikan sebagai tingkat kecerdasan yang tinggi pula (dan konon jadi resep sukses kalo IQ tinggi). Namun, sebuah kesadaran baru akhirnya muncul bahwa ada kecerdasan lain yang juga tidak bisa diabaikan, yakni kecerdasan emosional.
Keseimbangan antara kecerdasan kognitif (pengetahuan), perasaan (afektif) dan tindakan (action) akan membangun kekuatan karakter diri yang baik. Karakter diri sangatlah penting peranannya. Sebab, karakter diri adalah cara pikir dan prilaku yang khas dari individu untuk hidup dan bekerjasama dengan sekitarnya.
Terkadang, karakter diri seseorang terasa tidak seimbang. Ada orang yang memiliki ide-ide brilian namun tidak mampu bekerjasama dengan teamworknya. Itu menunjukkan orang tersebut memiliki kecerdasan IQ yang baik sedang kecerdasan emosionalnya buruk. Ada juga orang yang memiliki otak cemerlang, dia juga baik, namun malas bekerja. Itu menunjukkan actionnya lebih lemah dibanding IQ dan EQ nya.

Karakter diri akan semakin kuat jika ketiga aspek tersebut terpenuhi. Karakter diri yang baik ini akan sangat menentukan proses pengambilan keputusan, berperilaku dan cara pikir kita. Yang pada akhirnya akan menentukan kesuksesan kita. Lihat saja, seorang Nelson Mandela meraih simpati dunia dengan ide perdamaiannya. Bunda Teresa menggetarkan dunia dengan rasa cinta dan kepedulian terhadap sesamanya. Bung Karno dengan ide, kegigihan dan kecerdasannya masih terasa bagi kita bangsa Indonesia yang telah melalui tahun millennium.
Semua itu adalah wujud dari kekuatan karakter yang mereka miliki. Ini menegaskan bahwa, karakter seseorang menentukan kesuksesan individu. Dan menurut penelitian, kesuksesan seseorang justru 80 persen ditentukan oleh kecerdasan emosinya, sedangkan kecerdasan intelegensianya mendapat porsi 20 persen.

Membangun Kekuatan Karakter

Pada diri setiap individu memiliki karakternya masing-masing. Lingkungan memiliki peran penting dalam pembentukan karakter. Karakter kita, memiliki peran penting dalam proses kehidupan. Sebab, karakter mengendalikan pikiran dan perilaku kita, yang tentu saja menentukan kesuksesan, cara kita menjalani hidup, meraih obsesi dan menyelesaikan masalah.
Sebenarnya masing-masing dari kita memiliki karakter yang khas. Dan, kekhasan karakter tersebut merupakan kekuatan karakter kita. Sebab, kekhasan atau keunikan itulah yang membedakan kita dengan individu lainnya. Si penghibur akan menebarkan semangat, si pengatur akan memanajemen organisasi. Mereka yang bijak dan tidak suka konflik bisa menjadi pendamai. Itu semua adalah kekuatan karakter. Dan, setiap karakter akan dibutuhkan dalam setiap pergaulan, baik pergaulan kerja, organisasi atau masyarakat.
Ingatlah! Kekuatan karakter harus dibangun sejak awal. Membangun kekuatan karakter bisa dilakukan melalui pendidikan karakter baik di lingkungan formal seperti sekolah, atau non-formal seperti keluarga dan masyarakat. Pendidikan karakter diberikan melalui penanaman nilai-nilai karakter. Bisa berupa pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Output pendidikan karakter akan terlihat pada terciptanya hubungan baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, masyarakat luas dan lain-lain.

Pendidikan karakter tidak hanya diberikan secara teoritik di sekolah, namun juga perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu adalah bukti bahwa pendidikan yang diberikan telah merasuk dalam diri seseorang. Ketika makan bersikap sopan, ketika hendak tidur membaca doa, ketika keluar rumah berpamitan, tekun dan semangat mewujudkan obsesi dan cita-cita, jujur, berbuat baik kepada hewan dan tumbuhan, tidak membuang sampah di sembarang tempat dan lain-lain.
Membangun kekuatan karakter dilakukan dengan melibatkan seluruh elemen. Sebab, setiap elemen akan berpengaruh dalam proses pembentukan karakter individu. Seorang anak akan meniru dan mengidentifikasi apa yang ada di sekelilingnya. Role model positif akan membentuk karakter yang positif dan sebaliknya role model negatif akan membentuk keprbadian dan karakter negatif. Karena itu, setiap unsur lingkungan hendaknya dibangun secara positif, sehingga karakter anak akan terbentuk secara positif juga.

Lalu bagaimana cara membangun kekuatan karakter itu? Kekuatan karakter akan terbentuk dengan sendirinya jika ada dukungan dan dorongan dari lingkungan sekitar. Bayangkan sebuah lidi tidak akan memiliki daya untuk menghalau sampah-sampah. Namun, jika didukung oleh ratusan lidi yang lain akan membentuk satu kekuatan untuk membersihkan halaman rumah. Begitu juga dengan karakter, akan menjadi kuat ketika didukung oleh lingkungan. Peran keluarga, sekolah, masyarakat sangat dominan dalam mendukung dan membangun kekuatan karakter.
Karakter yang kuat pada akhirnya akan berperan optimal di setiap interaksi sosial. Sehingga, individu dengan karakter kuat tersebut akan memberikan sumbangsih –baik moril atau spirituil- yang berdaya guna bagi sekitarnya.


Pentingnya Membangun Lingkungan Berkarakter

Pentingnya Membangun Lingkungan Berkarakter

Kita harus berperilaku dengan cara yang memungkinkan kita berkata kepada semua orang,
“Berperilakulah seperti aku”

Banyak sekali email yang masuk dan bertanya apa kunci sukses Pendidikan Karakter. Nah, Kali ini kita akan membahas tentang kunci tersebut, kita akan bahas pentingnya sebuah lingkungan yang berkarakter bagi keberhasilan Pendidikan Karakter. Setujukah anda, bahwa untuk mencapai Pendidikan Karakter yang bermutu dan maksimal, dimulai dengan membangun sebuah lingkungan yang berkarakter?
Baiklah, sebelum kita ulas, saya pernah mendengar sebuah pepatah kuno mengatakan: apabila kita berteman dengan penjual minyak wangi, maka kita akan ikut wangi. Sedangkan berteman dengan penjual ikan, maka kita akan ikut amis. Marilah kita renungkan sejenak. Sebenarnya ungkapan tersebut sangat sesuai menggambarkan peran lingkungan dalam kehidupan kita. Lingkungan sangat menentukan proses pembentukan karakter diri seseorang. Lingkungan yang positif bisa membentuk kita menjadi pribadi berkarakter positif, sebaliknya lingkungan yang negatif dan tidak sehat bisa membentuk pribadi yang negatif pula. Lingkungan memiliki peran yang sangat penting dalam membangun karakter-karakter individu yang ada di dalamnya.
Seorang anak kecil yang terbiasa berkata kotor, tentu saja ia meniru dari sekitarnya. Anda tidak perlu jauh-jauh mencari penyebab anak tersebut suka berkata kotor. Tentu saja itu adalah hasil meniru dari lingkungannya. Untuk mengatasinya, lebih baik anda mengatasi dari sumber masalahnya. Untuk menanggulangi penyakit, jangannya anda menunggu salah satu anggota keluarga anda sakit lantas mengobatinya. Bukankah lebih baik anda mulai mengatur pola hidup sehat, sehingga penyakit tidak akan menyerang dan menjangkiti anda. Inilah yang saya maksud dengan mengatasi persoalan dari sumbernya.
Lalu, apakah sumber masalah anak kita berkata kotor? Saya yakin, anda pasti akan memerintah anak anda untuk berhenti berkata kotor, lalu kalau anak anda kembali mengulang dan tidak patuh dengan perintah anda, anda akan memukulnya. Namun, anak anda justru semakin menjadi-jadi karena ia merasa tidak diberi hak untuk mengatur dirinya sendiri. Anda tidak akan mudah meminta si anak yang terbiasa berkata kotor itu untuk berhenti berkata, sementara orang lain juga melakukan yang sama. Untuk itu, titik pemecahannya adalah dengan menciptakan lingkungan yang sehat bagi anak-anak dan individu yang tinggal di dalamnya.

Lingkungan yang berkarakter sangatlah penting bagi perkembangan individu. Lingkungan yang berkarakter adalah lingkungan yang mendukung terciptanya perwujudan nilai-nilai karakter dalam kehidupan, sepeti karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran / amanah, diplomatis, hormat dan santun, dermawan, suka tolong-menolong, gotong royong / kerjasama dan lain-lain. Karakter tersebut tidak hanya pada tahap pengenalan dan pemahaman saja, namun menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Barangkali dalam benak anda terbayang betapa susahnya membentuk lingkungan yang berkarakter. Semua itu harus dimulai dari diri sendiri yang selanjutnya diteruskan dalam lingkungan keluarga. Diri sendiri harus dibenahi terlebih dahulu sebelum membenahi orang lain. Biasakan membangun pola pikir positif, melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik, membangun karakter diri yang pantang menyerah dan seterusnya. Dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga kita biasakan menerapkan nilai-nilai tersebut. Misalnya, terbiasa jujur dan terbuka pada anak, memberi kesempatan anak berpendapat dalam memutuskan bahan dekorasi rumah, mengajak anak berunding tentang tempat les sekolah, dan mengajak anak untuk ikut berbagi peran dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Hal itu bagian dari proses membangun karakter anak. Salinglah tolong-menolong sesama anggota keluarga. Biasakan anak mengeksplor dirinya. Memberi kesempatan pada anak untuk mengambil keputusan untuk dirinya. Itu merupakan proses demokrasi dalam keluarga.
Kebiaasaan-kebiasaan positif semacam itu pada akhirnya akan diteruskan oleh si anak pada lingkungan sosial yang lebih besar, yakni di sekolah dan masyarakat. Keluarga adalah institusi pertama tempat anak membangun karakternya. Kita sebagai orang tua hendaknya menerapkan pola asuh dan pendidikan yang sehat dan baik dalam keluarga. Dengan begitu, anak-anak kita yang telah tertanam kepribadiannya akan menjadi pribadi yang menyebarkan karakter positif pada lingkungan. Di sekolah, pendidikan karakter juga hendaknya diwujudkan dalam setiap proses pembelajaran, seperti pada metode pembelajaran, muatan kurikulum, penilaian dan lain-lain.
Pernahkah anda memberi kesempatan pada anak anda meluangkan waktu untuk bermain? Atau mendorong anak anda untuk menekuni bakat dan minat yang dimilikinya. Sebenarnya kesempatan bergaul dengan sebaya merupakan proses pengembangan karakter anak. Dengan bergaul, anak akan belajar memahami dirinya dan orang lain. Dengan demikian ia akan belajar bagaimana membangun hubungan dengan orang dan lingkungannya.

Di lingkungan sekolah sebenarnya anak didik memiliki wadah untuk mengembangkan diri dan membangun karakter diri melalui kegiatan ekstrakulikuler. Pendidikan ekstrakulikuler merupakan media untuk membangun rasa tanggung jawab, kemampuan bersosialisasi dan interaksi, toleransi, bekerjasama dan lain-lain.
Namun, seiring dengan tuntutan sekolah dengan berbagai mata pelajaran dan pelatihan untuk Ujian Nasional telah menyita waktu untuk mengembangkan diri mereka. Apakah anda termasuk orangtua yang hanya mendorong anak untuk terus belajar dan mengabaikan minat dan hobi yang dimilikinya? Jika iya, cepat-cepatlah merubah cara pandang anda dan beri kesempatan anak untuk membagi waktu belajar dan bermain.
Kenyataan bahwa kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh prestasi sekolah hendaknya kita sadari. Benar adanya bahwa kemampuan menjalin hubungan dan kecerdasan emosional sebagian besar menentukan proses pengembangan diri dan meraih keberhasilan.
Jika memang demikian, marilah kita ciptakan lingkungan yang berkarakter. Sehingga, putra-putri kita kelak akan menjadi generasi berkarakter yang tidak pantang menyerah ketika menghadapi tantangn dalam hidupnya. Dan mereka akan selalu optimis dalam meraih kesuksesan dengan bekal nilai-nilai yang telah tertanam dalam lingkungan yang berkarakter tersebut.